Di Persimpangan Jalan: Dialog Baru Islam dan Barat di Dunia yang Berubah
Benturan Islam-Barat bukan takdir peradaban, melainkan drama politik yang diplot dalam labirin minyak, prasangka, dan keserakahan kuasa — Rusdin-Hidayat membedah ilusi ini dengan telak, menawarkan epistemologi dialog sebagai jembatan melampaui jejak darah sejarah.
Di sebuah sudut Washington D.C., sekelompok anak muda Yahudi menggelar aksi duduk, menuntut gencatan senjata di Gaza. Di perairan Mediterania, seorang aktivis iklim asal Swedia, Greta Thunberg, bergabung dalam kapal bantuan kemanusiaan yang dihadang militer. Sementara itu, di Jakarta, sebuah keluarga Muslim menikmati film Hollywood terbaru, sama seperti jutaan keluarga lain di New York atau London.


Tiga gambaran ini tampak tidak berhubungan, namun sebenarnya adalah kepingan mozaik dari sebuah kenyataan baru: hubungan antara dunia Islam dan Barat tidak lagi bisa dibaca dengan peta lama. Garis pemisah yang dulu tampak jelas kini telah melebur dalam sebuah interaksi global yang rumit, penuh paradoks, dan digerakkan oleh kekuatan yang tak terduga.
Dari Isu Geografis Menjadi Nurani Kemanusiaan
Konflik yang berpusat di Timur Tengah kini tidak lagi terkurung oleh batas geografis. Berkat media digital, penderitaan di satu belahan dunia dapat dirasakan secara langsung di belahan dunia lain, memicu gelombang empati yang melampaui sekat agama dan negara. Inilah yang kita saksikan dalam demonstrasi global untuk Palestina. Wajah-wajah yang turun ke jalanan Paris, London, dan Berlin tidak hanya mewakili satu komunitas, melainkan sebuah koalisi nurani yang beragam.
Fenomena ini membuktikan bahwa narasi telah bergeser. Isu yang tadinya sering dibingkai sebagai benturan peradaban atau sengketa agama, kini mengkristal menjadi seruan universal untuk hak asasi manusia. Di Amerika, aliansi moral antara kelompok Yahudi progresif, gereja-gereja Kristen, dan organisasi Muslim menjadi kekuatan baru yang menggugat kebijakan luar negeri yang sudah mapan. Mereka membuktikan bahwa kemanusiaan bisa menjadi landasan bersama yang lebih kuat daripada perbedaan identitas.
Paradoks Budaya dan Identitas di Era Global
Globalisasi mempercepat interaksi budaya: produk dan tren kini mudah melintas batas negara. Di kota-kota besar Barat seperti London atau Paris, restoran halal dan pasar muslim menjadi bagian normal dari kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, budaya populer Barat seperti musik, film, dan gaya hidup menyebar cepat ke desa-desa berpenduduk Muslim.
Tapi dampaknya dua sisi. Justru karena interaksi ini, muncullah gerakan untuk memperkuat identitas asli. Banyak kaum muda profesional di negara Muslim—seperti Indonesia atau Turki—kini memilih menjalani gaya hidup lebih religius (dikenal dengan istilah ‘hijrah’). Di tempat lain, nilai-nilai konservatif tradisional justru semakin populer. Pola ini menunjukkan adaptasi unik manusia: ketika budaya global mendominasi, mereka merespons dengan mencari kembali identitas lokal dan agama sebagai cara mempertahankan jati diri.
Teknologi: Pemisah Sekaligus Jembatan Dialog
Di era digital, pertarungan narasi menjadi semakin tajam. Algoritma media sosial, yang dirancang untuk memaksimalkan interaksi, seringkali justru memperkuat polarisasi. Dengan menyodorkan konten yang semakin ekstrem, ia menciptakan “ruang gema” di mana prasangka terhadap “yang lain” tumbuh subur. Agama pun seringkali dimanipulasi untuk tujuan politik, baik oleh politisi populis di Barat maupun kelompok ekstremis yang mengatasnamakan Islam.
Namun, teknologi yang sama juga membuka pintu bagi dialog yang belum pernah ada sebelumnya. Dokumen “Persaudaraan Manusia” yang ditandatangani Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar menjadi simbol harapan. Begitu pula Deklarasi Marrakesh tentang hak-hak minoritas di negara Muslim. Inisiatif-inisiatif ini menunjukkan bahwa di tengah kebisingan, para pemimpin masih berusaha membangun jembatan.
Ekonomi dan Ideologi yang Saling Merangkul
Kesenjangan ekonomi yang pernah menjadi sumber ketegangan kini juga bertransformasi. Negara-negara Teluk tidak lagi hanya pemasok minyak, tetapi investor utama dalam teknologi masa depan, termasuk di Barat. Lebih menarik lagi, sistem keuangan syariah yang dulu dianggap alternatif kini telah menjadi bagian integral dari sistem keuangan global. Bank-bank raksasa Barat kini memiliki divisi perbankan syariah, mengubah zona konflik ekonomi menjadi zona kerja sama yang produktif.
Begitu pula di ranah ideologi. Pertentangan kaku antara “liberalisme Barat” dan “tradisionalisme Islam” kini digantikan oleh spektrum yang lebih luas dan cair. Muncul konsep-konsep hibrid seperti “Islam Eropa” atau “sekularisme Islami” yang menunjukkan bahwa dialog ideologis terus berjalan, mencari sintesis baru untuk tantangan zaman.
Masa Depan yang Belum Tertulis: Dialog di Atas Benturan
Semua potret di atas membawa kita pada satu kesimpulan besar: narasi usang tentang “benturan peradaban” antara Islam dan Barat tidak lagi relevan untuk menjelaskan dunia kita saat ini. Apa yang kita saksikan bukanlah benturan, melainkan sebuah dialog global yang rumit, terkadang menyakitkan, namun tak terhindarkan. Paper akademik “Islam dan Barat” karya Rusdin Ahmad dan M Hidayat, yang mengidentifikasi berbagai “kesenjangan” di masa lalu, kini menjadi relevan bukan sebagai ramalan, tetapi sebagai titik awal untuk memahami betapa dinamisnya perubahan yang sedang terjadi.
Seperti yang dikatakan oleh penulis Amin Maalouf, “Bila ada dua kebudayaan yang bertemu, maka yang terjadi bukanlah benturan, melainkan dialog. Dan dalam setiap dialog sejati, kedua pihak sama-sama berubah.”
Di tengah dunia yang terasa semakin terbelah, tugas kita bukanlah memilih pihak, melainkan berpartisipasi dalam dialog ini. Sebab, seperti firman Tuhan dalam Al-Qur’an, manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk “saling mengenal” (li ta’ārafū). Dan dalam proses saling mengenal inilah, kita menemukan kemanusiaan yang kita bagi bersama, sebuah fondasi untuk membangun masa depan yang lebih damai.